Jumat, 27 Januari 2012

sejarah sabun


SABUN – dari zaman pra-sejarah sampai abad pertengahan
Kalau kita mendengar kata “sabun” dalam benak kita terbayang benda padat yang biasanya berbentuk batangan atau bentuk lain, atau cairan agak kental, atau bisa juga pasta atau krim, yang bila dicampur air dan digosok-gosok akan menghasilkan busa yang mampu membersihkan benda atau tubuh kita dari kotoran yang menempel. Benda ini dalam berbagai bahasa asing disebut sebagai “zeep” (Belanda) “soap” (Inggris), “savon” (Perancis), “sapone” (Itali), “sabuni” (Swahili), ”sabun” (Turki), jabón” (Spanyol),   “Seife” (Jerman) dan lain sebagainya – untuk bahasa lain bisa dilihat di tabel terpisah di blog ini.
Asal mula kebersihan pribadi dimulai dari sejak zaman pra-sejarah. Karena air mutlak perlu untuk kehidupan, manusia sejak dahulu kala bermukim dekat dengan air dan tahu tentang daya bersihnya – paling tidak, bahwa air bisa menghilangkan lumpur dari tangan mereka. Bahan mirip sabun yang ditemukan dalam bejana gerabah selama penggalian di situs Babylon kuno menunjukkan bahwa pembuatan sabun telah dikenal sejak 2800 SM. Ukiran pada bejana tersebut mengatakan bahwa lemak direbus bersama abu, yang merupakan metode pembuatan sabun, tetapi tak ada acuan tentang kegunaan “sabun” itu sendiri. Bahan semacam itu di kemudian hari dipakai sebagai bahan pembantu penata rambut.


Catatan menunjukkan bahwa bangsa Mesir kuno mandi berendam secara teratur. Papyrus Ebers, sebuah dokumen medis dari kira-2 1500 SM, menguraikan pencampuran minyak binatang dan nabati dengan garam alkali untuk membentuk bahan sejenis sabun yang digunakan mengobati penyakit dan juga untuk mencuci.

Kira-kira pada zaman yang sama, Nabi Musa memberi bangsa Israel hukum yang rinci tentang kebersihan diri.  Beliau juga menghubungkan kebersihan dengan kesehatan dan kesucian menurut agama.  Dalam Kitab Injil disebutkan, bangsa Israel mengetahui bahwa mencampurkan
abu dengan minyak menghasilkan semacam jel untuk rambut.
Sabun di negara barat bermula pada zaman Yunani kuno di pulau Lesbos.  Di tempat itu dilakukan pengorbanan binatang sebagai persembahan pada para Dewi.  Karena sesaji itu sering dikremasi, maka terjadi penumpukan abu dari kayu bakar (awal sumber senyawa alkali/ basa). Abu ini pun tercampur dengan lemak dari binatang yang dipersembahkan. Diceritakan bahwa ada aliran cairan kuning turun dari api pembakaran di kuil di atas bukit.  Para perempuan yang mencuci pakaian di sungai melihat bahwa pakaian mereka menjadi lebih bersih pada waktu air sungai berubah menjadi kekuningan.  Sappho, yang menuliskan puisi tentang zaman ini kemudian namanya diabadikan dengan pemberian istilah saponifikasi – nama reaksi kimia dalam pembuatan sabun.
Namun sumber lain menyatakan bahwa nama atau istilah “sapo” berasal dari “Bukit Sapo” di
Italia di zaman Romawi kuno, meskipun ceritanya mirip dengan cerita di atas, yaitu tentang adanya lemak binatang persembahan yang bercampur abu mengalir turun ke tanah liat di tepian sungai Tiber. Para perempuan mendapatkan bahwa cucian mereka menjadi lebih bersih tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. dengan menggunakan tanah liat ini untuk mencuci pakaiannya.  Bangsa Yunani kuno mandi karena alasan estetika tanpa memakai sabun. Tetapi mereka   membersihkan tubuh mereka dengan gumpalan tanah liat, pasir, batu apung dan abu, lalu melumuri badannya dengan minyak dan mengerik lepas minyak dan tanah tersebut dengan alat yang terbuat dari logam yang dinamakan “strigil”. Mereka juga memakai minyak dicampur abu.  Mencuci pakaian dilakukan di sungai tanpa sabun.
Bangsa Jerman dan Gaul kuno juga dikatakan menemukan suatu substansi yang dinamakan sabun, terbuat dari lemak lembu dan abu, yang mereka pakai untuk mencat rambut agar berwarna merah.

Sejalan dengan majunya peradaban Romawi, cara mandi pun menjadi lebih maju pula.  Tempat mandi umum  Romawi pertama yang terkenal, yang airnya disalurkan melalui jaringan perpipaan/saluran, dibangun kira-kira pada 312 S.M.  Tempat mandinya mewah dan menjadi sangat populer.  Menjelang abad kedua Masehi, Galen tabib Yunani yang terkenal, menganjurkan sabun untuk pengobatan maupun alat pembersih.
Menurut Gaius atau lebih dikenal sebagai Pliny the Elder seorang punjangga dan filosof naturalis di abad 1 M, bangsa Phoenisia membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu pada 600 S.M dan terkadang menggunakannya  sebagai komoditas untuk barter dengan bangsa Gaul.   Kata “sabun” petama kali muncul di bahasa Eropa di dalam buku Pliny the Elder berjudul Historia Naturalis, yang menguraikan tentang pembuatan sabun dari lemak dan abu, namun penggunaan yang disebutkannya hanya sebagai jeli untuk rambut; dalam nada yang tidak setuju disebutkannya
bahwa di antara bangsa Gaul dan Jerman, lebih banyak kaum lelaki yang menggunakannya daripada perempuan.
Sabun dikenal luas di zaman kekaisaran Romawi; apakah bangsa Romawi belajar memakai dan membuatnya dari orang-orang dari Laut Tengah kuno atau dari bangsa Keltik, penduduk wilayah Britannia, tidaklah diketahui pasti.  Bangsa Romawi kuno di abad 1 M menggunakan air seni (urine) untuk membuat substansi seperti sabun.  Urine mengandung ammonium karbonat yang bereaksi dengan minyak dan lemak dari wol menghasilkan saponifikasi parsial.  Orang-orang yang disebut sebagai fullones mondar mandir di jalanan kota mengumpulkan urine untyuk dijual ke para pembuat sabun.
Bangsa Keltik, yang membuat sabun dari lemak binatang dan abu tanaman menamakan hasil produksinya sebagai saipo, yang menjadi asal kata soap. Peranan penting sabun untuk mencuci dan membersihkan tampaknya belum diketahui sampai abad ke 2 M; Galen, tabib bangsa Yunani menyebutnya  sebagai obat dan alat pembersih tubuh.  Pada zaman dahulu sabun dipakai sebagai obat medis.

Kejatuhan kekaisaran Roma tahun 467 M menurunkan pula kebiasaan mandi rakyatnya, sampai-sampai sebagian besar benua Eropa merasakan akibat dari kejorokan mereka terhadap kesehatan masyarakat.  Lingkungan hidup dan kebersihan diri yang jorok ini mempunyai andil besar pada terjadi wabah besar penyakit pes di Abad Pertengahan, yang disebut sebagai Black Death di abad ke 14. Diperkirakan 30%-50% penduduk Eropa meninggal oleh wabah tersebut. Kebersihan diri dan kebiasaan mandi baru kembali ke sebagian besar Eropa pada abad ke 17.
Namun, masih ada bangsa pada abad pertengahan yang tetap mementingkan kebersihan diri.  Mandi setiap hari sudah umum dilakukan di Jepang pada Abad Pertengahan.  Juga di Eslandia, kolam yang dihangatkan dengan air dari sumber air panas merupakan tempat ngerumpi yang beken setiap Sabtu malam.
Pembuatan sabun menjadi kerajinan yang mapan di Eropa pada abad ke 7.  Berbagai perkumpulan para pembuat sabun menjaga rapat rahasia mereka.  Minyak atau lemak binatang dan nabati digunakan bersama dengan abu tumbuh-tumbuhan, dengan diberi pewangi. Secara bertahap berbagai jenis sabun diciptakan untuk bercukur dan keramas, mandi serta mencuci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar